Rabu, 07 Desember 2011

Mati Demi Sebuah Kehormatan [harakiri]



Bunuh diri (harakiri) sudah menjadi salah satu "tradisi" di negara sakura ini. Umumnya harakiri dilakukan dengan cara menusukan samurai ke perut sang pelaku hingga tewas . Akan tetapi, "tradisi" ini makin berkembang dengan beragam cara, mulai dari menusukkan samurai, menenggak racun, gantung diri, menabrakan diri di kereta, hingga loncat dari ketinggian tertentu yang mematikan. Bahkan di tahun 1945 saat Perang Dunia ke-II, Harakiri berkembang menjadi sebuah adegan yang lebih dahsyat. Para pilot jepang menabrakan dirinya ke kapal-kapal sekutu untuk menghambat pergerakan musuh yang semakin dekat ke Jepang. Gerakan ini dikenal dengan nama "Kamikaze" (angin yang besar). Kamikaze - pun tiada lain adalah harakiri yang diwujudkan dalam bentuk super "heroik".

Harakiri menjadi sebuah "fenomena" menarik untuk 'dikaji' mengingat bagi saya banyak values yang terkandung di dalamnya. Lepas dari pandangan kita bahwa tindakan tersebut tentulah tidak "wajar". Di berbagai negara lain, termasuk Indonesia, tindakan bunuh diri juga acap kali muncul. Pun juga di negara-negara maju lainnya. Lalu apa yang membuat "harakiri" menjadi lebih unik untuk dibahas ?

Bagi saya, motif "harakiri" itu yang membuat perbuatan ini menjadi banyak "nilai" untuk diserap. Saya mengamati, setidaknya ada tiga motif dibalik bunuh diri ini :

PERTAMA : motif HARGA DIRI. dengan motif ini, para samurai dulu melakukan bunuh diri demi menjaga harga dirinya. Tindakan kamikaze di saat PD II pun saya golongkan dalam motif ini. Jepang tidak ingin sejengkal pun tanah mereka di injak oleh AS dan sekutunya, hingga dengan cara apapun, pergerakan musuh mereka harus ditahan. Kisah pertempuran di Iwojima (Letters from Iwojima) menunjukkan heroisme tentara Jepang yang melakukan pertempuran hingga titik tenaga dan titik darah terakhir mereka. Satu lagi yang menarik, dalam film "The Last Samurai", Ken Watanabe yang berperan sebagai seorang samurai melakukan adegan harakiri demi menjaga harga dirinya ketimbang bertekuk lutut pada tentara . Tidak aneh, para korban-korban harakiri tersebut mendapatkan penghormatan yang besar dari masyarakat, termasuk dari orang yang pada masa hidup tidak menyukainya.

KEDUA : motif MALU. Motif ini paling dominan dilakukan oleh pelaku harakiri di masa kini. Motif "tidak bisa menahan malu" dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat, mulai dari pejabat, akademisi, hingga rakyat biasa. Tahun 2007 kita masih ingat "kejutan" di jajaran Kabinet Shinzo Abe (PM Jepang pengganti Koizumi) dengan tewasnya Menteri Pertanian mereka akibat kasus bunuh diri. Diyakini, tindakan tersebut dilakukan karena Sang Menteri tidak bisa menahan malu akibat skandal kasus korupsi yang diduga (masih dugaan) membelitnya. Di tahun yang 2006, seorang professor (associate) tewas bunuh diri di dalam laboratoriumnya (kasus di kampus kami, Osaka University) yang diduga melakuka pemalsuan data risetnya dalam sebuah jurnal ilmiah terkemuka dibidang bioscience. Kasusnya kemudian diangkat Majalah Nature, majalah nomor wahid dalam bidang science, dalam sebuah artikel "Mysteri surrounds lab death" .
Kelompok pelaku bunuh diri ini didorong oleh ketidak mampuan mereka menahan malu akibat kasus-kasus yang menimpanya.

KETIGA : motif BALAS DENDAM. Pada kasus ini, biasanya dilakukan oleh seseorang yang kecewa pada keluarganya. Misal seorang anak yang merasa tidak diperlakukan adil, dan lain sebagainya. Tindakan bunuh diri dilakukan dengan menabrakan diri pada kereta api. Dengan tindakan seperti ini, umumnya keluarga sipelaku akan kerepotan karena dikenai tuntutan mengganggu ketertiban umum. Keluarga pelaku akan dituntut membayar ganti rugi oleh perusahaan kereta akibat keterlambatan yang disebabkan oleh peristiwa tabrakan tersebut. Bukan hanya itu, keluarga pelaku juga harus menanggung kerugian dan meminta maaf pada semua penumpang yang merasa dirugikan dengan kejadian ini. Repotnya keluarga inilah mungkin yang dimaksudkan dengan upaya “balas dendam” si pelaku.

Dari TIGA MOTIF di atas, menjadi menarik jika kita cermati bahwa tidak satu pun pelaku bunuh diri melakukan harakiri karena himpitan ekonomi atau kesusahan. Tidak ada orang yang serta merta gantung diri akibat tidak bisa membeli beras atau kendala ekonomi lainnya. Inilah yang membedakan dengan banyaknya bunuh diri di Indonesia. Rata-rata, kasus bunuh diri di negeri kita lebih banyak didorong oleh himpitan ekonomi. Adanya anak yang gantung diri akibat tidak bisa membeli buku sekolah, ibu yang membunuh anaknya, dan seterusnya. Ekonomi masih menjadi motif utama kasus-kasus bunuh diri di negara kita. Meskipun tentu, beberapa kasus didorong oleh motif di luar ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar